berisi rangkuman Materi,Administrasi PKn SMP & SMA, Juga contoh2 tugas Mahasiswa Magister Hukum ( Guru PKn SMA IT Nurul Fikri Depok & Mahasiswi Magister Hukum ), Ada yg ditanyakan ? hub:Retno :081310301606
Jumat, 07 Oktober 2011
Sabtu, 16 April 2011
Kamis, 14 April 2011
Rabu, 16 Maret 2011
Sabtu, 26 Februari 2011
Rabu, 23 Februari 2011
Minggu, 09 Januari 2011
Kamis, 06 Januari 2011
Rabu, 05 Januari 2011
Pelunasan Hutang melalui Borgtocht
“Pelunasan hutang melalui jaminan Borgtocht”
Masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan demikian kegiatan pinjam meminjam uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi dalam masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan hutang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan hutang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan, dan atau berupa janji penanggungan hutang sehingga merupakan jaminan perseorangan.
Penanggungan hutang diatur oleh pasal 1820 sampai dengan pasla 1850 KUHPerdata.
Penanggungan hutang merupakan jaminan hutang yang bersifat perorangan. Akan tetapi dalam hal ini diartikan pula dapat diberikan oleh suatu badan disamping oleh perorangan sebagaimana yang terdapat dalam praktik sehari-hari dan lazim disebut dengan “borgtocht”.
A. Pengertian Penanggungan
Beberapa bentuk penanggungan hutang yang banyak ditemukan adalah berupa jaminan pribadi dan jaminan perusahaan.
Penanggungan hutang adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan pihak pemberi pinjaman (kreditur) dengan mengikatkan dirinya guna memenuhi perikatan pihak peminjam (debitur), bila pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pemberi pinjaman (pasal 1820 KUHPerdata). Atau dengan kata lain penanggungan hutang adalah suatu perjanjian penjaminan hutang yang sangat terkait dengan perorangan (individu atau badan hukum) yang mengikatkan dirinya sebagai jaminan atas hutang dari pihak peminjam dan pihak yang mengikatkan dirinya disebut penanggung atau penjamin.
Apabila diperhatikan defenisi tersebut maka jelas bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan hutang ini, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpihutang, sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung uang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.Alasan adanya perjanjian penanggungan ini antara lain karena sipenanggungan mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya sipenjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak dari perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin hhutang-hhutang perusahaan tersebut, atau suatu perusahaan induk ikut menjamin hhutang perusahaan cabang.
Penanggungan hutang sangat berkaitan dengan perjanjian pokok yang sah (pasal 1821 KUHPerdata). Ketentuan ini menunjukkan tidak ada suatu penanggungan hutang bila sebelumnya tidak ada suatu perjanjian pokok. Perjanjian pokok, misalnya berupa perjanjian pinjaman yang disepakati oleh pihak peminjam dengan pihak pemberi pinjaman. Karena perjanjian penanggungan hutang ada karena adanya perjanjian pokok, maka perjanjian penanggungan hutang adalah perjanjian accesooir (perikatan turutan).
Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat dari perikatannya debitur.Penanggungan boleh diadakan hanya sebagian saja dari hutangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk lebih dari hutangnya atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah sah hanya untuk apa yang diliputi perikatan pokok atau meliputi apa yang telah diperjanjikan antara penjamin dengan debitur. Penanggungan tidak terbatas untuk perikatan pokok, tetapi meliputi segala akibat hutang, termasuk biaya yang dikeluarkan setelah penanggung diperingatkan dengan itu. Penanggungan diadakan harus dengan pernyataan yang tegas dan tidak diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya.
Seorang dapat memajukan diri sebagai penanggung dengan telah diminta untuk itu, oleh orang untuk siapa ia mengikatkan dirinya, atau dengan tidak diminta (atas kemauan sendiri, dengan sepengetahuan orang itu atau bahkan diluar pengatahuan orang itu. Berdasarkan pasal 1827 KUHPerdata, peminjam/debitur yang diwajibkan memberikan seorang penanggung, harus mengajukan seseorang yang mempunyai kecakapan hukum untuk mengikatkan dirinya, dan cukup mampu untuk memenuhi perikatannya, serta berdiam di Indonesia. Karena dalam prakteknya terhadap pinjaman yang sifatnya besar dan guna membiayai suatu usaha/proyek sedangkan tingkat kepercayaan kreditur terhadap debitur kurang,biasanya kreditur dalam hal ini bank akan meminta jaminan tambahan selain jaminan barang berupa penjamin dari si debitur, yang biasanya teman usaha dari sidebitur itu sendiri atau seseorang yang dikenal baik yang menjadi nasabah dari bank tersebut. Hal ini dilakukan agar kredit dapat disetujui dan bank mempunyai keyakinan bahwa kredit tersebut akan terbayar.
Dan berdasarkan pasal 1829 KUHPerdata, apabila sipenanggung yang telah diterima oleh kreditur secara sukarela atau atas putusan hakim, kemudian menjadi tidak mampu maka haruslah ditunjuk seorang penanggung baru. Dan bagi debitur yang tidak berhasil mendapatkan penanggung sebagaimana diwajibkan dalam pasal 1827 KUHPerdata, diperbolehkan sebagai gantinya memberikan suatu jaminan gadai atau hipotik.
Perikatan penanggungan hutang para penanggung berpindah pada ahli warisnya (pasal 1826 KUHPerdata), artinya apabila sipenanggung meninggal dunia, maka kewajibannya beralih pada ahli waris, hal ini dikarenakan secara tidak langsung perjanjian penanggungan/ penjaminan dianggap sebagai perjanjian pinjam meminjam antara kreditur dengan penjamin, dan karenanya berdasarkan pasal 1100 KUHPerdata, siahli waris diwajibkan dalam hal pembayaran hutang.
B. Pelunasan Hutang melalui Jaminan Borgtoch
Pada prinsipnya penanggung hutang tidak wajib membayar hutang debitur kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar hutangnya. Untuk membayar hutang debitur tersebut maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya (pasal 1831 KUHPerdata). Ketentuan pasal 1831 KUHPerdata ini merupakan ketentuan yang menetapkan hak istimewa penanggung. Karenanya penanggung dalam membuat perjanjian penanggungan hutang seharusnya memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang hak istimewa penanggung, sehingga sepenuhnya menyadari kedudukan dan kewajibannya bila pihak peminjam ingkar janji kepada pihak pemberi pinjaman.
Penanggung tidak dapat menuntut supaya harta benda debitur/peminjam lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya (pasal 1832 KUHPerdata) :
- apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya harta pihak peminjam lebih dahulu disita dan dijual,
- apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan pihak peminjam utama secara tanggung-menanggung,
- bila peminjam dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya secara pribadi,
- bila peminjam dalam keadaan pailit,
- dalam penanggungan yang diperintahkan hakim.
Berkaitan dengan hak istimewa ini, penanggung dapat melepaskan hak istimewanya tersebut, yaitu dengan menyatakan tunduk pada ketentuan pasal 1832 KUHPerdata pada perjanjian penanggungan hutang yang dibuatnya. Bila penanggung menyatakan melepaskan hak istimewnya, yang bersangkutan tidak dapat menuntut agar harta pihak debitur disita dan dijual lebih dahulu bila sidebitur ingkar janji terhadap perikatan hutangnya. dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1832 KUHPerdata, yang disita dan dijual terlebih dahulu adalah harta penanggung. Bila harta penanggung tidak cukup untuk melunasi hutang pihak debitur, baru harta debitur akan disita dan dijual. Walaupun demikian, dalam prakteknya sering dilakukan penggugatan baik kepada penanggung maupun kepada debitur secara bersama-sama.
Bila penanggung tidak melepaskan hak istimewanya, maka ia dapat menuntut supaya benda-benda debitur lebih dahulu disita dan dijual, diwajibkan menunjukkan kepada kreditur, benda-benda debitur, ( yaitu bukan benda-benda yang sedang disengketakan, atau yang telah dijadikan tanggungan hipotik maupun benda yang berada diluar wilayah Indonesia ), dan membayar terlebih dahulu biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan penyitaan serta penjualan tersebut.
C. Akibat-akibat penanggungan antara debitur dan penanggung dan antara para penanggung
Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran hutang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung dapat menuntut kepada debitur/debitur utama, baik penanggungan itu telah diadakan dengan maupun tanpa sepengetahuan debitur utama, agar membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Penuntutan yang dilakukan meliputi :
- penggantian pokok dan bunga,
- penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Penanggung yang telah membayar berarti telah menggantikan demi hukum segala hak kreditur terhadap debitur.
Disamping itu penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatannya, bahkan sebelum ia membayar hutangnya :
- bila ia digugat dimuka hakim untuk membayar
- bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada suatu waktu tertentu,
- bila hutangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya,
- setelah lewat waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan pokoknya sedemikian sifatnya sehingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat waktu tertentu tersebut, seperti perwalian.
Jika beberapa orang debitur yang bersama-sama memikul satu hutang, maka seorang yang memajukan dirinya sebagai penanggung hutang mereka semuanya, dapat menuntut kembali apa yang telah dibayarnya dari masing-masing debitur tersebut.
Dan jika beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk hutang yang sama, maka penanggung yang telah melunasi hhutangnya debitur tersebut berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk bagiannya.
D. Hapusnya Penanggungan hutang.
Perikatan yang timbul karena penanggungan, selain hapus karena telah berakhirnya perjanjian pokoknya, perikatan pertanggungan juga hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Hapusnya perikatan penanggungan diatur dalam pasal 1845 – 1850 KUHPerdata. Adapun hal-hal yang menyebabkan hapusnya/ berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUHPerdata, yang terjadi karena : pembayaran, penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaruan hutang, kompensasi, pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, pembatalan, dan berlakunya syarat pembatalan.
Demikian penjelasan dari penanggungan hutang yang diberikan oleh perorangan, yang disebut dengan jaminan perorangan. Dan seperti telah dikemukan diatas selain diberikan oleh perorangan, penangungan hutang dapat juga diberikan oleh suatu badan hukum/perusahaan, yang lebih dikenal dengan nama ”jaminan perusahaan”.
Dilingkungan perbankan, salah satu penanggungan hutang yang berupa jaminan perusahaan adalah garansi bank (bank garansi) yang diterbitkan oleh Bank Umum, dan wajib memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai peraturan yang bersifat khusus, seperti SK Direksi BI NO.23/88/KEP/DIR dan SEBI No.23/7/UKU yang mengatur antara lain tentang bentuk dan syarat-syarat minimum yang harus dimuat dalam perjanjian bank garansi, selain ketentuan KUHPerdata mengenai penanggungan hutang sebagai peraturan yang bersifat umum.
Dilingkungan investasi berkembang juga penanggungan hutang, seperti tender bond (bidbond), performance bond, dan re-payment bond.
Garansi bank adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan non-bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang menerima jaminan cedera janji. Atau dengan kata lain garansi bank merupakan jaminan yang diberikan oleh bank, maksudnya bank menjamin untuk memenuhi suatu kewajibanapabila yang dijamin dikemudian hari ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada pihak lain/pihak ketiga sebagaimana yang dijanjikan. Misalnya pejanjian yang dibuat anatara A (penyedia jasa) dengan B (pengguna jasa)
Penggunaan penanggungan sebagai jaminan adalah sangat lemah karena sifatnya sebagai personal right, karena tidak diketahui secara pasti kekayaan pribadi dari seseorang. Begitupula jika penanggungan itu diberikan olh perusahaan dalam bentuk corporate guaranty, kekuatan jaminan itu juga masih diragukan karena posisi dari kekayaan perusahaan di Indonesia tidak diketahui secara transparan, tidak didukung oleh aturan pendaftaran perusahaan yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Prof, S.H, Jaminan-jaminan untuk pemberian kredit menurut Hukum Indonesia, cetakan kelima, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991
Subekti, Prof, S.H, hukum Perjanjian, penerbit PT.Internusa
Nederlans Burgerlijk Wetboek – tekst geldend 12-01-2007
Guse Prayudi, S.H., Jaminan dalam perjanjian Hutang Pihutang – Seri Hukum, Merkid Press
TEORI HUKUM POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN
TEORI HUKUM POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN
I. PENDAHULUAN
Abad kesembilanbelas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad kesembilanbelas itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Kita mengetahui, bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yaitu ilmu yang nantinya mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah ummat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh pikiran kritis ditunjukkan, betapa hukum tersebut tidak mempunyai dasar atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Dias, 1976:451). Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif untuk melakukan penilaian terhadap masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan.
Pada umumnya, orang bisa melihat banyak dari para ahli teori sebelum Austin mencontohkan sebuah pendekatan yang lebih “berorientasi masyarakat”, hukum yang timbul dari nilai-nilai masyarakat atau kebutuhan, atau ekspresif dari masyarakat adat atau moralitas. Sebaliknya, Austin adalah salah satu yang pertama, dan salah satu yang paling khas, teori bahwa hukum dilihat sebagai peraturan yang dipaksakan dari atas dari yang berwenang, lebih “top-down” teori-teori hukum, seperti Austin, lebih cocok dengan lebih terpusat pada pemerintah (dan teori-teori politik modern tentang pemerintah) dari zaman modern. (Cotterrell 2003:pp.21-77).
II. POSITIVISME ANALITIS – JOHN AUSTIN
Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin, hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
John Austin membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk manusia (law set by God to men= law of God). Dan Hukum yang dibuat oleh manusia (law set by men to men=human law). Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum yang tepat disebut hukum (law properly so colled=positive law) adalah hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada dibawah kekuasaannya, contohnya undang-undang. Selanjutnya hukum yang tidak tepat disebut hukum (law improperly so colled) adalah aturan-aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, contohnya : ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kesusilaan, ketentuan-ketentuan hukum Internasional.
Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum hanya ada dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum positip) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command (perintah),Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan Sovereignty (kedaulatan)
Hukum positip semacam “perintah” (command), karena perintah, maka mesti berasal dari satu sumber tertentu. Bila suatu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap hukum positip dibuat oleh seseorang / badan yang berdaulat yang memegang (suvereign).
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang semula metafisik (hukum sbg ius atau asas-asas keadilan yang abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege atau aturan perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.
III. PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa John Austin telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengetahuan tentang teori hukum maupun pengaruhnya terhadap pengadilan di beberapa Negara.
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekan.” (Bodenheimer, 1974:94). Jadi menurut Austin penguasa/pembuat undang-undang (kedaulatan) membuat hukum(hukum positif) yang merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh warga negara, apabila tidak maka akan mendapatkan sanksi.
---SELESAI---
DAFTAR PUSTAKA
· Austin, John, provinsi Fikih Bertekad, W. Rumble(ed.), Cambridge: Cambridge University Press, 1995 (pertama kali diterbitkan, 1832)
· Bentham, Jeremy, Sebuah Pengantar Prinsip-prinsip Akhlak dan Perundang-undangan (JH Burns & HLA Hart, eds, oxford: Oxford University Press, 1996) (pertama kali diterbitkan 1789)
· Cotterrell, Roger, The Politics of Fikih: A Critical Introduction to legal Philosophy, 2nd ed. (London:LexisNexis, 2003)
· Prof.Dr.I Ketut Oka Setiawan, S.H.MH, Modul Teori Hukum, program studi magister ilmu hukum universitas Tama Jagakarsa, Jakarta 2007
· Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H.Ilmu Hukum, cetakan keenam, penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006
Minggu, 02 Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)