BAB IX
COMMON LAW
(Rangkuman dari Buku: Prof. Dr. Emeritus John Gilisen & Prof. Dr.Emeritus Frits Gorle)
I. HAL-IKHWAL YANG BERSIFAT UMUM
COMMON LAW adalah nama yang diberikan kepada tatanan hukum yang sejak abad XII bertumbuh-kembang di Inggris. Ungkapan Common Law telah dipergunakan sejak abad XIII untuk menyebutkan hukum Inggris secara keseluruhan sebagai mukabalah kebiasan-kebiasan lokal yang berlaku di daerah-daerah, kemudian orang menyebutnya sebagai Commune loy (=loi commune) selama beberapa abad.
Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan) hakim-hakim. Dan undang-undang nampaknya hampir tidak pengaruh terhadap evolusi common law ini.
Namun common law dalam arti yang sempit ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, di samping peradilan pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, ialah hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuatan undang-undang (legislatif). Yang disebut terakhir ini telah menjadi suatu sumber hukum penting terutama selama abad-abad XIX dan XX.
Common Law ini tidak pernah mengalami pengaruh langsung dari hukum Romawi maupun hukum-hukum abad pertengahan yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, justru karena ia pada instansi pertama merupakan judge made law, yang muncul ke permukaan dari prosedur-prosedur penuntutan hukum yang justru mempersulit pengandalan hukum Romawi sebagai hokum pelengkap.
Ringkasnya, common law ini berbeda secara fundamental dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Romanistis Eropa continental, karena:
- Common Law adalah sebuah “judge made law” sedangkan peradilan hanya memainkan peranan yang sangat kecil di dalam pembentukan dan perkembangan tatanan-tatanan hukum romanistis.
- Common Law adalah sebuah hukum pengadilan, yang di dalam pembentukannya proses pengadilan memegang peraran yang besar sedangkan proses tersebut hanya merupakan fungsi tambahan di dalam tatanan-tatanan hokum romanistis.
- Common Law ini yang hampir tidak mengalami proses romanisasi, dibandingkan dengan tatanan-tatanan hukum Eropa continental, yang justru karenanya kita sebut tatanan-tatanan romanistis.
- Kebiasaan-kebiasaan local tidak memainkan peranan di dalam evolusi common law, sedangkan di Eropa continental pengaruh-pengaruh kebiasaan sampai abad XVIII masih tetap penting.
- Perundang-undangan sampai dengan abad XIX hanya memainkan peranan yang menunjang dalam common law, sedangkan di Eropa continental sejak abad XIII sampai abad XIX secara berangsur-angsur menjadi sumber hukum terpenting.
- Tatanan-tatanan hukum romanistis, yang sebagian besar adalah tatanan-tatanan hukum yang dikodifikasi, sedangkan di Inggris kitab-kitab undang-undang tetap merupakan sesuatu yang tidak dikenal, sebagaimana hal tersebut popular di Eropa continental.
II. PEMBENTUKAN TATANAN COMMON LAW
( Abad-abad XII-XV )
A. Hukum di Inggris sampai Abad XII
Sampai abad XII dan XIII sejarah hukum Inggris dapat dibandingkan secara tepat dengan sejarah tatanan-tatanan hukum Eropa continental.
Inggris pun merupakan bagian dari Negara Romawi sejak abad I sampai dengan abad V, namun proses Romanisasi di dalam hukum dan institusi-institusi boleh dibilang tidak meninggalkan bekas-bekasnya dalam periode-periode kemudian.
Dalam abad XII, kebiasaan tetap merupakan sumber satu-satunya hukum Inggris, kebiasaan-kebiasaan local Anglo-sakson, kebiasaan-kebiasaan local Anglo-sakson, kebiasaan-kebiasaan kota-kota yang baru didirikan (borough custom), kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang, terutama pedagang-pedagang London.
B. Susunan Pengadilan-pengadilan Kerajaan : Prosedur Writ
Raja-raja Inggris berhasil, bahkan lebih dahulu dari raja-raja Perancis, untuk memantapkan kekuasaan mereka atas wilayah Negara. Proses ini berlangsung berbarengan dengan perluasan kekuasaan hukum raja dengan memperkecil pengaruh pengadilan-pengadilan kaum bangsawan (feodal) dan angpengadilan-pengadilan lokal, yang selama abad-abad XII dan XIII secara berangsur-angsur kehilangan sebagian besar wewenang-wewenang mereka.
Perluasan wewenang yang berlangsung dengan cepat pengadilan-pengadilan tingkat tinggi ini dimungkinkan terlaksana oleh procede teknis yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pada majelis-majelis hakim. Setiap orang yang ingin memperoleh keadilan dari sang raja, dapat melakukannya dengan mengajukan surat permohonan kepada raja. Kanselir, salah satu penasehat terpenting sang raja, meneliti surat permohonan tersebut dan bilamana ia memandang layak, maka ia mengirim atas nama raja, sebuah perintah, yang disebut Writ kepada Sheriff, yakni wakil setempat raja, untuk memaksa yang tertuduh membuat pembelaan. Jika si tertuduh menolak untuk melakukan hal tersebut, maka hal ini mempunyai arti ia tidak menghiraukan perintah raja. Si tertuduh karenanya dapat menghadap pengadilan raja untuk menjelaskan mengapa ia tidak menghiraukan perintah tersebut. Dan dengan cara demikian sengketa tersebut didaftarkan di pengadilan raja untuk diperiksa. Tatanan Writs ini terbentuk pada abad XII pada saat Hendrik II (1154-1189) menjadi raja.
Sejak abad XIII hukum di Inggris dengan demikian berkembang berdasarkan writs, artinya berbasiskan tuntutan-tuntutan hukum, yang mempunyai bentuk perintah-perintah kerajaan. Dalam kasus suatu sengketa maka bagi penggugat penting bagaimana menemukan writs yang dapat diterapkan atas kasus yang bersangkutan.
C. Sumber-sumber Common Law
Struktur common Law terikat pada tipe-tipe writs, sehingga tidak memungkinkan adanya pengadilan terhadap hukum Romawi sebagai hukum pelengkap.
Bagi kaum praktisi hukum ini preseden-preseden (kasus-kasus) senantiasa sangat untuk membela kepentingan-kepentingan yang senantiasa sangat bermanfaat untuk membela kepentingan-kepentingan yang dipercayakan kepada mereka, bahkan peristiwa bahwa seorang advokat berhasil mengingatkan pengadilan bahwa sebelumnya ia telah menyelesaikan sebuah sengketa di dalam arti tertentu, merupakan sebuah argumen penting untuk memenangkan sebuah proses pengadilan.
Pada tahun 1875 hakim-hakim menurut undang-undang wajib menerapkan prinsip stare decisis (tetap menerapkan apa yang telah diputuskan sebelumnya, artinya menjunjung tinggi preseden-preseden peradilan). Sesungguhnya wibawa preseden-preseden ini di Inggris jauh lebih besar daripada di Eropa continental.
Namun preseden pengadilan ini tidak bisa kita sebut sumber hukum murni. Memang demikian, karena hakim sebagai yang pertama memutuskan perselisihan tertentu, harus mengumpulkan sendiri elemen-elemen bagi penyusunan putusan.
Selain itu para hakim mempergunakan juga buku-buku hukum yang besar-besar , yang biasanya disusun oleh para hakim.
D. EQUITY TERHADAP COMMON LAW (ABAD XV – XVIII)
Selama abad-abad XIV dan XV nampaknya common Law semakin teknis saja sifatnya, hal itu terbatas pada sifat yang sempit dan kaku tentang prosedur writ di satu pihak dan rutinitas para hakim. Dengan jalan ini, akhirnya muncul ke permukaan perselisihan-perselisihan jenis baru, sebagai akibat perkembangan bidang ekonomi dan kemasyarakatan, dalam kerangka sifat sempitnya common law yang sementara itu belum siap memberikan pola penyelesaian yang cocok untuk itu.
Pemikiran untuk kembali, sebagaimana dalam abad XII dan XIII mengandalkan raja selaku sumber semua keadilan dan kelayakan (fons iustitiae), telah menyebabkab pada abad XV timbulnya sebuah pengadilan baru, ialah Court of Chancery pada satu sisi dan sebuah prosedur baru pada sisi lain, yakni atas nama raja, kanselir berdasarkan equity ialah keadilan dan kelayakan tanpa memperhatikan dan memperhitungkan aturan-aturan tradisional prosedur common law
Equity tersebut untuk sebagian dapat dipandang sebagai sebuah pelengkap dan untuk sebagian lagi sebagi alat koreksi Common Law. Dan dengan demikian equity ini misalnya diterapkan :
- Bilamana common law memperhatikan celah-celah yang kosong, misalnya tidak ada writ untuk sebuah kasus tertentu, yang juga tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan pergaulan hidup.
- Bilamana remedy yang disediakan oleh common law (biasanya ganti rugi) tidak memuaskan.
- Bilamana pengadilan common law dalam mengadili orang yang terpandang di dalam masyarakat, memberikan putusan yang tidak adil.
- Bilamana pengadilan common law tidak berwenang mengadili misalnya terhadap kaum pedangan luar negeri.
III. TRIAL BY JURY
Suatu kespesifikan tatanan hukum Inggris adalah peranan penting yang dimainkan oleh Juri di dalam institusi peradilan. Asal-mulanya system ini dapat ditelusuri kembali sampai periode kedua abad XII, dengan kata lain sampai periode yang sama dengan terbentuknya common law.
Jury di dalam perkara-perkara hukum baru terbentuk pada zaman Hendrik II (1133-1189), sebagai akibat sederetan tindakan untuk menghindari apa yang disebut “godsoordelen” atau putusan
-putusan kehendak Tuhan atau setidak-tidaknya menghapuskannya. Pada tahun 1166 raja misalnya telah mengeluarkan writ baru, ialah writ of novel disseisin, dimana ia memerintahkan sherrif untuk mengumpulkan dua belas orang dari daerah tertentu untuk menerangkan di bawah sumpah apakah pemegang kekuasaan atas sebidang tanah secara keliru dan tanpa vonis telah mengeluarkan pihak penggugat dari tanah tersebut. Dengan demikian telah dicegah atau dikurangi terjadi duel peradilan di dalam kebanyakan proses di sana. Hampir bersamaan dengan hal itu maka penuntut umum di dalam perkara-perkara pidana diganti oleh sebuah jury. Jury ini, yang kemudian disebut grand jury, terdiri dari 23 orang yang telah diangkat sumpah dari setiap County (distrik), 12 yang diangkat sumpah dari tiap 100 orang yang harus mengajukan tuntutan (indictment) terhadap kejahatan-kejahatan tersebut (pembunuhan, pencurian dan sebagainya) orang-orang yang diangkat sumpah tersebut harus memutuskan berdasarkan pengetahuan mereka sendiri atas perkara ini dan juga mengenai apa yang menjadi buah mulut orang-orang di daerah yang bersangkutan. Mereka tidak boleh mengumpulkan bahan-bahan bukti. Hal yang disebut terakhir ini adalah tugas sebuah jury kedua, yang disebut petty jury yang selaku demikian terdiri dari dua belas “boni homines” (=orang laki-laki yang baik), yang diangkat sumpah dipilih dari warga Negara setempat.
Tanpa menghiraukan kritik-kritik yang digelar secara berkesinambungan, tatanan Juty di Inggris ini masih tetap bertahan sampai abad XX, Grand Jury atau Jury yang menyusun surat tuntutan kesalahan untuk semua kejahatan telah dihapus pada tahun 1933 oleh Administration of Justice Act, dan untuk semua kejahatan baru pada tahun 1948 dengan criminal Justice Act.
Di Amerika Serikat system jury diatur dengan tegas dalam undang-undang Dasar tahun 1787. Grand Jury masih dijumpai di pengadilan-pengadilan federal dan di dua puluh negara bagian sedangkan petty jury masih terdapat hampir di mana-mana, namun di dalam perkara-perkara perdata, mereka dapat disisihkan oleh para pihak.
IV. PERKEMBANGAN STATUTE LAW
Sesuai dengan pendapat panutan di Inggris sampai abad XVIII dan XIX, perundang-undangan hanya menduduki tempat kedua dalam urut-urutan sumber-sumber hukum Inggris, setelah peradilan. Act of statutes (undang-undang) dipandang sebagai kekecualian atas Common Law, para hakim harus menafsirkan undang-undang ini secara sempit.
Pandangan ini nampaknya semakin lama terdesak dengan meluasnya peranan pembuat undang-undang terutama dalam abad XX ini. Sedangkan Common law tetap tradisional, konservatif, perundang-undangan lebih memperhatikan tujuan-tujuan social. Di bawah pengaruh pemerintah Partai Buruh yang berkuasa di Inggris., secara berturut-turut, maka Negara makin lama makin terlibat dalam permasalahan-permasalahan ekonomi dan social dalam arti perkembangan kea rah penciptaan sebuah welfare state (Negara kesejahteraan).
Meskipun perundang-undangan di Inggris telah sejak lama dipandang hanya sebagai tambahan pada peradilan, kendatipun susunan parlemen yang semakin lama semakin demokratis, namun dalam abad XIX dan terutama dalam abad XX ia memperhatikan suatu ekspansi yang luar biasa.
Melalui jalur perundang-undangan (Act tahun 1832-1833 dan 1873-1875), telah diadakan perubahan-perubahan mendasar di dalam susunan peradilan dan oleh sebab itu reformasi di dalam hukum acara dan hubungan serta perimbangan timbal balik antara Common Law dan Equity. Begitu pula dengan cara yang sama, terutama setelah tahun 1945, telah diberlakukan suatu hukum sosial yang sama sekali baru, walaupun dalam jumlah yang kecil.
V. UNDANG-UNDANG DASAR DAN KODIFIKASI
Kendatipun peranan besar yang dimainkan oleh perundang-undangan, namun tetap saja Inggris merupakan sebuah negara tanpa undang-undang dasar dan tanpa kitab undang-undang.
Constitusional Law Inggris bertumpu pada kebiasaan dan pada preseden-preseden, maupun pada beberapa naskah undang-undang, seperti halnya beberapa ketentuan magna Charta tahun 1215, Bill of Right tahun 1689 dan Act of Union antara Inggris dan Skotlandia (tahun 1707), Namun sama sekali tidak ada naskah, yang di dalamnya dimasukkan keseluruhan kententuan-ketentuan konstitusi, sebagaimana halnya undang-undang dasar Amerika Serikat dan banyak negara-negara Eropa dan bukan Eropa.
Namun bagaimanapun juga di Inggris belum pernah terselenggara pembuatan kitab-kitab undang-undang. Paling tidak telah disusun apa yang disebut consolidation undang-undang yang sudah ada, antara lain di dalam periode 1852-1863 dan bebrapa materi terbatas dikodifikasikan seperti Sale of Goods Act (tahun 1893), sejenis kodeks kontrak jual-beli, Bankruptcy Act tahun 1914, dan seterusnya. Yang dimaksud dengan kodifikasi di Inggris adalah sebuah undang-undang, yang di dalamnya telah dikonsolidasikan bukan hanya undang-undang yang berlaku sejak dahulu, melainkan juga Case Law. Consolidations dan Codifications dilakukan atas prakarsa Law Commision.
VI. PENYEBARAN COMMON LAW DI DUNIA
Sadar akan keunggulan tatanan hukum mereka, orang-orang Inggris telah membawa dan sedikit banyak dipaksakan kepada semua negara yang mereka kuasai atau yang mereka jajah, dengan hasil yang berbeda-beda.
Banyak wilayah yang termasuk kerajaan Inggris, tetap mengakui kekuasaan hukum Inggris. Kanada misalnya sampai tahun 1949 dan beberapa negara-negara lain; Selandia Baru, Hongkong dan Singapura bahkan sampai sekarang menganggap majelis pengadilan tertinggi yakni Judicial Commitee of the Privy Council, yang terdiri dari 3 sampai 5 anggota-anggota House of Lords. Secara teknis putusan-putusan instansi ini bukanlah merupakan arrest-arrest, melainkan nasehat-nasehat bagi pemerintah. Di Inggris sendiri mereka hanya mempunyai persuasive authority. Bagaimanapun juga institusi ini telah berhasil menyumbangkan jasa-jasanya dalam mempertahankan semacam kesatuan hukum antara negara-negara Common Law.
VII. AMERIKA SERIKAT
Amerika Serikat pun tergolong negara-negara Common Law. Namun demikian belumlah lengkap untuk mengemukakan bahwa para kolonis Inggris telah membawa Common Law ini ke Amerika. Sesungguhkan mereka memang menuntut bahwa mereka mempunyai hak-hak yang sama seperti orang-orang Inggris, namun hukum Inggris tersebut mereka rasakan sebagai alat penekanan yang mengakibatkan mereka harus mengungsi. Berdasarkan alasan-alasan ini kaum kolonis dari bagian Timur laut (New Englad), mengingkari kekuatan mengikat common law tersebut. Sejumlah besar koloni mengakui hal itu sebagai prinsip, namun sebenarnya mereka mempunyai kitab-kitan undang-undang yang terkadang sangat lengkap dan tersusun dengan baik, sehingga common law hanya berfungsi sebagai sebagai hukum pelengkap, hanya tiga buah koloni yang secara resmi mengakui hukum Inggris ini selama berlangsungnya periode kolonial.
Hukum Amerika Serikat ini telah meninggalkan banyak ciri-ciri khas Arkhais (kuno) common law dan ia mengenal banyak proses evolusi yang lebih cepat daripada hukum Inggris. Namun, betapapun juga tetap ada kebinekaan yang relatif besar satu dan lain karena kelimapuluh negara bagian tersebut memiliki hukum masing-masing. Oleh karena itu sebenarnya tidak dijumpai hukum Amerika dala arti sebuah tatanan hukum yang uniform, untuk diberlakukan di seluruh wilayah Amerika Serikat.
KANADA
Di Kanada harus kita bedakan antara hukum publik yang untuk seluruh federasi berasal dari Inggris dan hukum privat. Menyangkut hukum yang disebut terakhir terdapat perbedaan yang tajam antara propinsi-propinsi “common Law” Inggris dan propinsi Quibec yang sebagian besar penduduknya berbahasa Perancis.
Sejak tahun 1949 preseden-preseden Inggris telah kehilangan kekuasaan mengikatnya di Kanada. Sebaliknya preseden-preseden Amerika Serikat, sekalipun tidak mengikat, maka terutama sejak dasawarsa terakhir ini telah merebut persuasive authority yang cukup besar.
AUSTRALIA
Sebagaimana halnya Amerika Serikat dan Kanada, Australia pun merupakan sebuah federasi, berbasiskan sebuah undang-undang federal dan konstitusi-konstitusi keenam negara-negara bagian. Badan-badan legislatif federasi (Commonwealth of Australia) dan negara-negara bagian baru pada abad XX memperoleh kemerdekaan penuh dari parlemen.
Materi-materi hukum yang dilemparkan oleh undang-undang dasar federal kepada federasi adalah lebih luas daripada di Amerika Serikat. Jadi, dengan demikian hukum Australia pada umumnya dan terutama adalah hukum Inggris, bahkan statute law sekalipun, sepanjang hal ini masih diterapkan di Australia, dari hukum perundang-undangan federasi dan negara-negara bagian, dan dari Case Law, di mana preseden-preseden Australia itu sendiri mempunyai kekuatan mengikat, sedangkan pada negara-negara Common Law lainnya hanya bersifat Persuasive authority.
SELANDIA BARU
Berbeda dengan Amerika Serikat, Kanada dan Australia, Selandia Baru merupakan sebuah negara kesatuan.
Hukum Selandia baru berbasiskan hukum Inggris, termasuk aturan-aturan yang dikembangkan oleh peradilan Equity, dan perundang-undangan parlemen Selandia Baru, yang sejak tahun 1947 telah berdiri sendiri sepenuhnya terlepas dari parlemen Inggris.
Sama halnya dengan di Inggris, di Selandia baru pun tidak dijumpai kodifikasi dalam arti yang sebenarnya. Beberapa cabang hukum, misalnya hukum pidana, hukum dagang dan hukum perseroan memang diatur oleh undang-undang, akan tetapi perundang-undangan ini merupakan penambahan atau pelengkap (aanvulling) common law yang berlaku.
Suatu keistimewaan dari Selandia Baru ialah bahwa di sini dijumpai instansi-instansi hukum khusus untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan tertentu, di mana penduduk asli Maori terlibat.
AFRIKA SELATAN
Afrika Selatan bekas koloni Belanda yng pada awal abad XX sepenuhnya menjadi bagian kerajaan inggris, memiliki apa yang dikenal dengan tatanan hukum Anglo-Romawi, dala arti bahwa sebagai akibat dominasi Inggris, yang untuk bagian wilayah telah berada di bawah kekuasaan Inggris sejak awal abad XIX, pada hakekatnya termasuk negara-negara common law, namun betapapun juga telah menganut dan mempertahankan hukum Belanda-Romawi yakni tulisan-tulisan para yuris masa lalu sejauh tulisan-tulisan ini diakui oleh peradilan.
Di luar sumber-sumber hukum “Eropa” maka berlaku pula dalam jumlah besar hukum kebiasaan penduduk pribumi yang berkulit hitam, sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan umum dengan ketentuan-ketentuan yang dipandang adil dan pantas oleh para pemimpin politik
BEKAS KOLONI-KOLONI INGGRIS LAINNYA
Bekas koloni-koloni Inggris di Afrika Tengah yang pada tahun 1960 memperoleh kemerdekaannya (Nigeria, Kenya, Uganda, Tanzania, Zambia dan lain-lain) telah mempertahankan common law sebagai dasar tatanan-tatanan hukum mereka, namun setelah mereka merdeka hal tersebut telah ditambah dan dilengkapi pula dengan perundang-undangan, sehingga sedikit banyak hal itu telah diubah dan disesuaikan. Hal yang sama berlaku pula bagi bekas koloni-koloni Inggris di benua-benua lainnya. Di Sri Langka, yang sampai dengan awal abad XIX adalah koloni Belanda, maka seperti halnya di Afrika Selatan masih ditemukan bekas-bekas kaki Roman-Dutch law, terutama dalam bidang hukum benda.
S E L E S A I